Bercita-cita
merubah dunia adalah apa yang kupikirkan jika ada yang bertanya apa cita-citaku
kelak. Mungkin aku tak menjawabnya langsung seperti itu, tapi dalam hati aku
menancapkan kuat jawaban itu, “merubah dunia”. Lucu, aku tak tahu darimana
pemikiran itu muncul di saat aku masih kecil.
Di rumah, setiap
malam ayahku selalu menonton berita malam TVRI jam 21.00, nama programnya adalah
“dunia dalam berita”. Tontonan ini wajib, meski aku harus berebutan remote
dengannya. Setiap kali menonton berita seputar dunia di luar sana, aku selalu
berpikir keras, mengapa itu terjadi? Setidaknya gumaman ayahku saat menonton
berita cukup membantu, meski kadang mengganggu juga.. J
Suatu ketika,
kejadian 11 September mengguncang dunia. Kala itu, semua orang ingin tahu apa
yang sebenarnya terjadi, maka jadilah TV-TV menyala tiap jam agar orang-orang
tak ketinggalan berita. Seketika muncul hasil penyelidikan yang sangat cepat,
bahwa peristiwa itu dilakukan oleh sekelompok “teroris”, aku yang masih duduk
di bangku SD merasa ada yang salah. Apanya yang salah? Rasanya aku merasa yang dikatakan di TV itu akan menimbulkan
tragedy yang besar.
Kejadian
berlanjut saat Amerika mulai menginvasi Afganistan, ya aku langsung sadar, ini
juga tidak benar, pasti akan terjadi kekacauan besar. Saat berita dimulainya
invasi itu, tiba-tiba aku langsung menangis sejadinya. Saat itu aku langsung
sholat dan berdoa agar Allah menjaga saudara-saudaraku di sana. Tiba-tiba ada
rasa kelabu yang menggelanyut di hati, saat berita demi berita menunjukkan telah
terjadi bencana besar. Kala itu, aku masih SD, aku masih jadi si kelinci kecil
dan teman-temanku yang lain tak ada yang peduli dengan masalah ini.
Sebagai bentuk
perhatianku, aku menulis doa atau tepatnya puisi..Aku juga berdoa agar aku bisa
merubah dunia. Aku ingin merubah dunia dengan bicara, membentuk sebuah gerakan
yang berpengaruh, entah itu apa. Dalam imajinasiku, aku berkhayal aku sedang
berbicara di depan “dunia” dengan semangat yang menyala, menyerukan kedamaian
dan keadilan. Begitulah kiranya sang kelinci kecil berimajinasi, meski akhirnya
saat ia beranjak dewasa ia sadar, merubah dunia diawali dengan merubah diri
sendiri, menjadikan dirinya menjadi sosok yang kuat, berani, dan “besar”.
Setidaknya, aku
merasa lega bahwa dulu aku punya rasa simpati yang besar, yang muncul dari
cita-citaku “merubah dunia”, dengan begitu aku tahu bahwa aku telah menunjukkan
rasa cintaku pada persaudaraan, pada kemanusiaan. Aku lega mengetahui bahwa aku
berkesempatan merasakan gelisahnya hati saat bencana melanda orang yang entah
jauh di sana. Di saat anak-anak seusiaku mungkin hanya menganggap ini sebagai
kabar besar dan akan berlalu.
Komentar
Posting Komentar