Diary? Buku diary pertamaku adalah sebuah buku bersampul Barbie dengan dominasi warna pink, bukan hanya sampulnya namun juga
kertas di dalamnya, bahkan baunya pun wangi. Buku ini mulai aku corat-coret
saat SD. Isinya, seperti biasa adalah curhatan-curhatan anak SD tentang
teman-temannya, yang nakal, baik, hingga cerita cinta monyet yang menggelikan.
Kebiasaan
menulis diary telah menjadi tradisi
di keluargaku. Kami suka menulis, kami suka berimajinasi, dan kami juga suka
membaca. Satu kebiasaan buruk yang memakan banyak korban adalah curi-curi
membaca diary orang lain. Aku adalah
korban sekaligus pelaku, bukan hanya sekali.
Salah satu buku diary yang pernah kubaca adalah milik
kakak pertamaku, saat itu dia sudah kuliah. Dia menulis tentang adik-adiknya,
satu per satu. Saat dia menulis tentangku, dia menyebutkan bahwa kelak aku akan
menjadi pemimpin, atau sebutlah aku punya jiwa kepemimpinan. Aku heran,
bagaimana bisa ia menulis seperti itu, padahal saat SD aku cukup penakut,
sering dibully, dan tak pernah
mengambil bagian kepemimpinan di sekolah. Saat itu aku tak mengerti dan
menganggap kakakku hanya bergurau.
Berselang
beberapa waktu, aku menyadari sesuatu yang membuatku kembali teringat diary kakakku itu. Saat aku sudah
memasuki dunia SMP, oleh sebuah kekuatan yang entah aku dapatkan darimana, aku
beranjak menjadi sosok “pemimpin” di sekolah. Saat kelas II SMP aku menjadi
ketua kelas, hingga akhirnya saat kelas III SMP aku menjadi ketua OSIS. Sungguh
sebuah perjalanan yang tak pernah kubayangkan. Cerita ini, akan menjadi bagian
tersendiri yang selalu membuatku bersemangat untuk menuliskannya.
Kembali ke buku diary. Suatu hari buku diary barbieku diam-diam dibaca oleh
kakak-kakakku. Setelah hari itu aku selalu menjadi bahan ejekan mereka. Serangan
balik pun mulai kurencanakan, diam-diam aku juga membaca diary kakakku yang lain. Kakak ketiga yang saat itu masih SMP
merupakan spesialis penulis puisi “cinta”. Diarynya pun tak jauh dari
cerita-cerita seputar cinta monyet anak SMP. Aku sering membaca surat cinta
dari teman laki-lakinya yang tak pernah sepi. Dia punya satu buku “bersama”, di
dalamnya ada kisah sebuah “keluarga” yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
Mereka merupakan keluarga kerajaan dengan “marga” menggunakan nama salah satu
raja Inggris. Lucunya, buku itu ditulis bergiliran oleh anggota keluarga itu.
Saat itu aku sempat mengejek kakakku tentang ini, meski saat sudah SMP aku
meniru caranya itu. Aku juga punya diary bersama yang bernama “Buku Kita”.
Ya..diary, meski
kadang isinya hanyalah keluhan, cerita-cerita yang nampaknya tak penting, namun
setelah kita membacanya sejak sekian lama, akan muncul rasa bersyukur, haru,
dan “ringan”, bahwa saat itu kita tahu betul apa yang sedang kita lakukan
karena mencatatnya dengan detail. Itu akan menunjukkan bagaimana kita
berproses, menjadi lebih baik, dan semakin dewasa. Setiap catatan
memperlihatkan kemampuan kita menghadapi tantangan. Aku tak pernah bosan
membaca diaryku sendiri, sejak SD
sampai sekarang, pun diary orang
lain…ups..
Komentar
Posting Komentar