Apakah kalian
pernah dibully? Ya…dibully, dikerjai, didiskriminasi, bahkan
dilecehkan. Aku pernah, aku adalah korban dibully
saat SD menjelang tahun kelulusan. Saat itu yang melakukan bullying adalah
teman-teman laki-lakiku.
Menurut beberapa
cerita tentang anak yang dibully, bullying bisa terjadi karena beberapa
sebab, misalnya kekurangan fisik atau kemampuan tertentu, masalah yang menimpa
anak tersebut, atau hal-hal berbeda lainnya yang dimiliki sang anak. Kalau aku,
entah karena apa aku dibully. Dulu
aku memang termasuk murid yang paling tinggi –badan- di sekolah, memang di rumahku
juga sedang ada masalah, tapi aku tak
jauh berbeda dengan teman-temanku.
Suatu ketika
seorang teman laki-laki yang duduk di belakangku menumpahkan obat merah ke baju
seragamku dari belakang. Aku kaget, marah, dan menangis. Meski seisi kelas tahu
apa yang terjadi, tak ada satu pun yang berusaha menolong. Akhirnya aku pun
pulang dan menceritakan kejadian itu ke orang tua. Entah apa yang salah dengan
ceritaku, orang tuaku juga tak terlalu menolong. Akhirnya esok hari aku berangkat
lagi ke sekolah dengan perasaan sedih, sekaligus takut. Aku takut membayangkan
apa lagi yang akan terjadi.
Di hari-hari
yang lain, beberapa teman laki-laki melakukan bullying di waktu sebelum masuk ke kelas tiba. Kala itu kami harus
melakukan ritual berbaris sebelum masuk kelas. Mereka selalu merencanakan
strategi agar aku masuk terakhir dan berada di barisan terakhir, maka jadilah
aku selalu yang terakhir. Saat aku akan masuk ke kelas, mereka berkumpul di
pintu masuk. Jika aku memaksa masuk, aku akan melewati mereka, dan apa yang
akan terjadi padaku, sungguh menggelikan saat aku mengenangnya. Jika aku
bertahan untuk tidak masuk kelas, mereka akan memaki-makiku sampai aku menangis
sendiri di luar kelas, sedang teman yang lain hanya bisa menatapku dari dalam
kelas. Ada yang iba, ada pula yang menertawakan.
Kejadian itu
berulang-ulang kuhadapi sebelum akhirnya aku memutuskan untuk melawan. Meski
berangkat ke sekolah serasa seperti di neraka, tapi bagiku tiada lagi tempat
yang ingin kutuju selain gedung sekolah. Aku pun melawan dengan “dibantu” oleh
seganggang sapu atau kemoceng. Setiap kali “ritual” itu terjadi, aku selalu
mengayunkan sapu itu tak peduli mereka terkena atau tidak, hingga akhirnya
semua ini berakhir.
Berakhir mungkin
hanya untuk kejadian “ritual berbaris”. Selanjutnya ada satu kejadian yang
takkan pernah sanggup aku lupakan, mungkin hingga aku sudah tua nantinya. Waktu
itu, saat jam pelajaran tengah berlangsung, seorang teman entah saat itu ada
kejadian apa, yang aku ingat adalah dia dengan suaranya yang keras
menjelek-jelekkan orang tuaku di depan teman-temanku. Dia ungkit masalah di
rumahku yang sudah dia dengar dari kabar-kabar yang berhembus. Dia sebut orang
tuaku, dia keluarkan kata-kata kotor, lalu dia acungkan jarinya menuduhku
dengan fitnah yang kejam. Semua mata mengarah padaku, tangisku pecah bak gelas
yang terlempar dari ketinggian. Satu hal lagi yang membuat hatiku hancur,
selain teman-temanku yang kebanyakan hanya diam, adalah guruku yang juga hanya
menjadi penonton. Dalam kejadian itu, ada 3 wajah yang sangat kuingat. Satu
adalah wajah temanku yang melakukan penghinaan itu, dua adalah wajah guruku
yang bak patung tanpa ekspresi dan perasaan, tiga adalah wajah temanku yang
membelaku, bahkan kalimat yang ia ucapkan aku ingat betul. Dialah yang membuat
cuplikan peristiwa ini berhenti.
Yah bullying, pasti akan membawa kenangan
buruk bagi setiap orang yang merasakannya. Datang bersamaan dengan bullying adalah rasa tak percaya diri,
membenci, dan menutup diri sendiri. Aku beruntung, sungguh aku bersyukur karena
aku “terselamatkan”. Pada babak selanjutnya perjalanan hidupku, aku menjadi si
pemberontak. Kebencian telah membebaskanku dari rasa takut.
Meski begitu,
suatu hari nanti jika aku telah menjadi seorang ibu, aku takkan tinggal diam
jika anakku melaporkan bahwa dia telah dibully.
Setidaknya seperti yang kurasakan, aku harus tahu dan tersadarkan bahwa aku
tidak buruk, aku tak seperti yang mereka katakan. Itu yang akan aku tanamkan
pada anakku kelak, karena jika ia telah mengadu sekali dan aku tak meresponnya
dengan baik, bisa jadi selanjutnya dia enggan untuk mengadu lagi, dia tahu
orang tuanya pun bahkan tak peduli. Itulah yang sempat kupikirkan saat itu,
meski akhirnya dengan perjalanan kedewasaan aku sadar mereka kala itu sedang
terlupa oleh masalah mereka sendiri.
Sampe sekarang juga jadi korban buly, kan... :p
BalasHapus