Sore itu angin berhembus dengan
sangat lembut, bermalas-malasan mengitari seorang gadis kecil yang sedang
bermain di depan rumahnya. Dialah Lia, gadis 7 tahun yang enerjik dan selalu
ceria. Jika mendengar suaranya, seperti radio yang berbaterei baru, berbagai
ceritapun lancar mengulur dari mulut kecilnya. “Mbak..mbak...kamu bisa kayak
gini nggak?” , Lia menarik tangannya ke belakang punggungnya, mengatupkan kedua
telapak tangannya, meniru orang yang sedang bertepuk tangan dengan posisi
terbalik. Gadis manis itu seperti sedang memamerkan satu jurus baru dari dunia
“persilatannya” sendiri. Agar membuat semangatnya tak runtuh, akupun pura-pura
tak bisa, walaupun akhirnya kubilang juga, “ Alah..Cuma kayak gitu..!!”Dia tak
terpengaruh lagi dengan kata-kataku, terus saja mengulang-ulang gerakannya
tadi. Semangatnya sungguh pantas diacungi jempol.
Di sore-sore selanjutnya, Lia
yang tinggal di depan rumahku, sudah bisa dipastikan sedang bermain di depan
rumahnya. Seperti memenuhi janjinya pada matahari yang kan terbenam, Lia selalu
setia menampakkan dirinya, menyapa langit sore. Orang-orang yang berlalu lalang
melewatinya, ada yang melempar senyum ramah, ada yang tak melirik sedikitpun,
ada juga yang memperhatikan sejenak, bagi yang kenal memanggil namanya, atau
jika temannya dia akan melambaikan tangan. Aku sendiri, jika kebetulan
melihatnya, aku Cuma akan bertanya, “Ngapain kamu Nduk?” . lalu dia akan menjelaskan apa yang
dilakukannya, atau jika dia sudah terlampau sibuk, dia akan mengacuhkan
pertanyaanku.
Seringkali aku hanya melihatnya
bermain sendiri. Dia tak punya saudara, hidupnya hanya bersama sang ibu. Tak
perlu ditanya dimana ayahnya berada, entah dimana. Ibunya pun, kadang tak sanggup menjadi “ibu” lagi
untuk anak manisnya itu. Sang ibu pernah beberapa kali masuk RSJ, sampai
sekarangpun kemungkinan kembali ke tempat itu masih ada. Jika itu terjadi, Lia
hanya bisa menerima kenyataan dan terpisah dari ibu yang dicintainya itu.
Pernah suatu kali, penyakit sang
ibu kambuh entah oleh apa. Tak ada orang lain yang tahu saat itu, hanya dia dan
anaknya yang ada di rumah. Tak ingin
sesuatu yang buruk terjadi antara dia dan anaknya, diapun mengunci pintu
rumahnya dari dalam, dan “mengurung” diri di dalamnya. Lia yang polos, ikut
“terkurung” dan menurut saja tanpa rengekan. Setelah sekian lama, ternyata kejadian
seperti itu sering terulang. Ibuku yang akhirnya tahu, mengambil langkah
sekarang. Bila rumah itu terlihat terkunci, ibuku akan datang untuk mengantar
makanan, atau setidaknya “menyelamatkan” Lia. Anehnya, adakalanya Lia justru
yang tak mau dibantu. Oleh sebuah kekuatan jiwa, Lia telah mampu menanggung
beban sebagai anak seorang ibu yang menderita jiwanya. Lia tak mau meninggalkan
ibunya saat dia sedang melawan deritanya.
Suatu hari, Lia bercerita, “ Kemarin
ibuku sakit..” . cerita selanjutnya, sungguh membuatku berdecak kagum.
Penerimaannya sangat dewasa, jauh melebihi usianya. Tanpa beban dia bercerita
tentang kondisi ibunya. Saat sakit itu melanda, sang ibu hanya mengurung diri
di kamar, untuk beberapa lama waktunya. Ah, Lia...kamu membuatku malu jadinya.
Sore itu, Lia bermain
kincir-kinciran dari kertas. Angin sedang bersahabat dengannya, membuat
kincirnya berputar kencang seperti roda sepeda pembalap. Lia senang, dia
berlari kecil mengitari halaman rumahnya, ingin kincirnya berputar lebih
kencang. Lia tertawa riang, hanyut dalam putarannya sendiri. Sesekali dia
meniup kincirnya itu, dan menghadapkan wajahnya pada orang-orang yang
berlalu-lalang. Sekali lagi, dia nampak hendak ingin memamerkan kesenangannya
itu, seperti ingin bicara, “Lihatlah aku, kincirku berputar kencang.” Ah,
Lia...kesenanganmu sangat tulus dan besar..pasti hatimu selembut kapas saat itu.
Sekali lagi di suatu sore,
kulihat Lia sedang bermain-main dengan tanah, sendok, dan piring kecil. Entah
karya apa yang sedang dibuatnya, yang jelas sebuah imajinasi hebat pasti sedang
hidup di alam pikirannya. Ah Lia, sungguh aku melihatmu dengan teropong hikmah
yang mendalam. Bagaimana caramu menyenangkan hati, sungguh aku sedang menjadi
“murid”mu saat memerhatikan tingkah polahmu. Bagaimana kamu menjadikan angin
dan tanah sebagai sahabat bermainmu. Betapa kamu memberi arti yang lebih pada
sesuatu yang sering diremehkan manusia-manusia yang lain. Di hadapanmu, angin
dan tanah punya harga yang menawan, bukan sekedar sebuah kebetulan alam.
Komentar
Posting Komentar