Seorang anak
yang mendengar orang tuanya bertengkar akan menyimpan banyak pertanyaan dalam
benaknya. Beberapa hari ini aku mendengar berita tentang anak yang melakukan
tindakan criminal, setelah diselidiki ternyata ia sering mendengar orang tuanya
bertengkar. Memang aku tak bisa langsung menghubungkan dua peristiwa itu begitu
saja, tapi setidaknya ada titik terang yang bisa membantu pencarian jalan
keluar.
Setidaknya ini
apa yang pernah kualami, beberapa tahun aku hidup dengan mendengarkan pertengkaran
orang tuaku. Bukan apa yang mereka ributkan yang aku ingat, tapi bagaimana aku
menghadapi mereka saat itu. Kupikir, ini akan menjadi pelajaran yang sangat
penting dalam hidupku, karena aku merasa beruntung bisa melewati masa-masa ”
itu” dengan cukup baik.
Pertengkaran
biasanya dimulai dari perbedaan pandangan, tak ada yang mau mengalah, dan
akhirnya keduanya saling meninggikan suara, menajamkan kata-kata hingga mahir
mengeluarkan kata-kata menyakitkan yang kian runcing dan menyakiti hati. Tanpa
sadar, hilanglah semua kebaikan yang pernah dilakukan atau lupalah atas semua
kebaikan orang lain. Pertengkaran baru terhenti saat salah satu ada yang
mengalah atau “terpaksa” mengalah.
Sejauh
pengamatanku, pertengkaran tak pernah menyisakan ruang untuk membicarakan jalan
keluar. Kalaupun masing-masing sudah mengungkapkan solusi itu hanya akan
menyalakan bara api hingga kian membesar.
Saat orang tuaku
bertengkar, entah di depanku langsung atau tidak, aku selalu hanya terdiam.
Jika pada satu titik aku tak tahan dengan mereka, aku akan ke kamar mandi atau
kamar, tentu saja yang kulakukan hanya satu, menangis. Saat kecil, aku menangis
karena merasa dunia telah menjadi tempat yang tidak aman bagiku. Aku menangis
karena aku takkan bisa mengajak orang tuaku tersenyum dan berbahagia dengan
mereka. Aku menangis karena aku merasa buruk, aku merasa tak pantas menjadi
anak yang dicintai orang tuanya. Itu karena aku melihat mereka selalu
bertengkar, setiap kali, setiap waktu.
Aku berlari
kecil ke duniaku, menjauhkan diri dari kekacauan yang sedang terjadi. Aku mulai
dengan menggambar, menulis, bergerak, dan melakukan apa pun yang bisa. Namun aku
sadar bahwa semua itu takkan cukup untuk mengalihkan perhatianku. Kini aku tahu
bahwa ada “pertolongan” lain yang
membantuku bertahan saat itu. Pertolongan itu adalah pelukan dan ciuman.
Bersyukur bahwa
tradisi memeluk dan mencium ada di antara kami, aku dan kakak-kakakku. Kami saling
berpelukan, setiap saat, membagi kehangatan kasih sayang dan dukungan. Kurasa,
itulah salah satu penyelamat terbesar hingga aku mampu memilih jalan yang tak
merenggutku sebagai manusia yang bahagia.
Komentar
Posting Komentar