Kabar tentang
Marshanda akhir-akhir ini berhasil mengusik pikiranku. Bukan karena kegermelapan beritanya yang
terlalu diekspos media, tapi karena aku merasa ada kemiripan dengan apa yang
kurasakan. Bukan kemiripan nasib dan jalan cerita , tapi kemiripan pengalaman
rasa.
Aku berbicara
tentang Bipolar, ya…pertama kali aku mengetahui tentang penyakit itu saat
membaca kisah beberapa artis Hollywood yang terjangkit Bipolar. Saat itu aku
masih remaja dan kupikir, ya bisa saja aku
terkena Bipolar juga, jika itu
adalah tentang perubahan mood yang drastic.
Aku semakin
menggali dan menemukan, bahwa pengidap Bipolar memang sangat mudah untuk
berbalik arah membenci orang yang dulunya ia cintai. Perubahan mood yang
terjadi di antara orang-orang tercinta, justru membuatnya ingin menghindari
mereka semua. Bahkan meninggalkannya dengan memunculkan alasan kebencian dan
menggali kesalahan-kesalahan yang seolah tak termaafkan. Mungkin sebenarnya ia
ingin menjauh karena terlalu takut melukai orang-orang terdekat itu (asumsiku
pribadi)
Apa yang mirip
denganku?? Pertanyaan itu langsung tertuju saat aku membaca tentang penyakit
ini. Hal pertama, aku juga mudah merasakan perubahan mood, meski tak terlalu
drastic. Pun aku pernah dan menemukan diriku yang bisa dengan mudah merubah
perasaan mencintai dengan membenci. Kini aku bisa semakin menyambungkan benang
kusut yang selama ini coba kuuraikan. Pertanyaan mengapa dulu aku begitu?
Kenapa aku sulit menghadapi ini dan itu? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
Mungkin, sebelum
aku menemukan jawaban yang lebih meyakinkan, inilah mengapa aku sempat berpikir
bahwa aku akan kesulitan mendapatkan sahabat sejati. Ada perasaan aneh yang
ingin aku buang saat aku sedang memiliki sahabat. Saat aku sedang
dekat-dekatnya dan menyayangi sahabatku itu, maka akan semakin mudah pula aku
menemukan celahnya, salahnya, buruknya, hingga aku pun akan semakin tajam
mencurigainya. Di saat sedang berkumpul dalam keceriaan, saat hati para sahabat
mulai bertaut, justru rasa aneh menyerangku dan mengatakan ini bukan duniaku.
Mereka bukan sahabatku, bukan orang-orang yang sama dengan pemikirinan atau
gaya hidupku. Mereka di luar lingkaranku, mereka bukan bagian dari hidupku.
Perasaan yang
menyergap dan merambat pelan nan pasti itulah yang akan membuatku kebingungan
hingga akhirnya tindakan menjauhi atau niatan untuk itu akhirnya muncul, entah
dalam bentuk yang baik bahkan tidak sekali pun. Yang tidak, maksudnya adalah
seperti aku mulai berperilaku yang tidak menyenangkan, aku jadi menyebalkan dan
membuat orang tidak nyaman di dekatku. Ini gejalanya dan pada akhirnya aku akan
kehilangan sesuatu karenanya.
Namun, sujud
syukur pada Allah atas segala kemurahan Nya. Meski sering sulit menghadapinya,
aku masih bisa dikatakan cepat sadar. Aku akan segera sadar dan semakin lama
semakin cepat sadar. Kesadaran itu sekaligus membawaku pada titik muhasabah
akan dosa-dosaku, dosa penyakit hati yang tersembunyi begitu dalam.
Kini, aku
semakin tahu bagaimana caranya menguasai emosi dan merekayasanya hingga
terwujud harmoni yang muncul dari hatiku. Setelah aku renungkan, aku bisa saja
menjadi seperti Marshanda selanjutnya jika aku tidak berusaha menjalankan
perintah agama dengan baik, benar, dan konsisten. Jika saja dulu ayahku tidak
“cerewet” agar aku tidak meninggalkan sholat, jika saja aku tidak menyegerakan
memakai jilbab saat SMA, jika saja… Sungguh aku bersyukur, karena di usiaku
yang saat ini, ujian hidup juga semakin meningkat, ditambah dengan emosi yang
belum stabil tentu kekacauan akan lebih mudah terjadi.
Dengan
menjalankan ajaran Islam, aku semakin mudah mendeteksi penyakit hati , hingga
akhirnya aku tahu apa yang harus kulakukan agar jalanku kembali lurus. Hikmah
mencintai agama Allah ini sangat luas, melebihi luasnya cara berpikir kita yang
seliar-liarnya. Di atas langit ada langit, di lapis-lapis peristiwa ada nilai
yang Ia titipkan pada kita untuk membuat kita lebih baik. Pada akhirnya, kita
menjadi baik pun karena ridho Allah dan hidayah Nya. Kehampaan itu menimpa
ruang-ruang kosong yang tak terisi keyakinan yang kuat.
Mungkin
Marshanda hanya kurang yakin pada Allah, bahwa kebahagiaan dan kebebasan yang
ia agungkan itu sejatinya juga Allahlah yang akan sematkan di hidupnya. Ia mungkin
kurang yakin bahwa Allah maha Kuasa atas segala peristiwa dalam kehidupannya.
Mungkin saat ini ia merasa merdeka dan bahagia, tapi kerapuhan jalan yang ia
tempuh sangat rentan. Bahagia itu bukan pekerjaan seorang diri, ada campur
tangan semesta yang seakan menjadi kaki tangan Tuhan. Bahagia dan bebas itu
bukan egois. Terakhir, diri kita bukan kita seorang diri, ini adalah ruh yang
terkendali dalam lapis-lapis.
Komentar
Posting Komentar